“Hai Muhammad, apakah kau sudah gila? Berita macam apa pula ini?”. “Ha...ha...ha...Wahai orang-orang Quraisy! Berkumpullah! Muhammad telah berkata, bahwa dia katanya, tadi malam telah diisra’kan dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha. Dan kini dia telah hadir di tengah-tengah kita! Sungguh dia sudah tak waras lagi!”. “Hai Muhammad, jika kau benar-benar telah sampai ke al-Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) coba kau sebutkan ciri-cirinya!”
TANTANGAN teramat dahsyat berikut cercaan dan cacian ditujukan kepada Nabi. Peristiwa Isra’ mereka jadikan ajang penghinaan dan umpatan pada Beliau. Lebih dari itu, orang-orang Quraisy justru menggunakan “pelu-ang emas” ini untuk memprovokasi pengikut Muhammad saw. Tidak sedikit dari mereka yang murtad; keluar dari agama Islam setelah mendengar peris-tiwa isra’ ini. Apa yang menyebabkan mereka ingkar dan angkuh pada Nabi atas peristiwa isra’? Dan ada kajian menarik apa di balik peristiwa agung ini? Atau, adakah hikmah yang tersembunyi dalam kisah penuh barakah ini?. Inilah yang menjadi acuan utama penulis untuk mencoba menelusuri secara mendalam dan ilmiah dalam the best event for our prophet. Insya Allah.
***
Isra’ dalam arti etimologisnya adalah perjalanan di malam hari. Dalam peristiwa ini, berarti, Nabi telah melakukan perjalanan di malam hari dari al Masjidil Haram ke al Masjidil Aqsha. Melalui Buraq, kendaraan produk the god of people, Muhammad mampu memecahkan rekor dunia dalam menempuh perjalanan tercepat seantero jagad. Kilat, itulah arti dari kata Buraq yang diambil dari kata Barq. Sehingga orang yang menaikinya pun harus berupa manusia super yang memiliki kekuatan melebihi apa yang pernah dikenal manusia pada umumnya. Karena tidak mungkin seseorang menaiki kilat/cahaya, sementara fisik tubuhnya masih berbentuk materi.
Perjalanan ini menghabiskan waktu yang relatif singkat, sebagaimana yang telah di paparkan Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Tafsirnya, al-Maraghi . al-Maraghi mencoba menalarkan kecepatan ini dengan peristiwa-peristiwa lain yang hampir serupa dengan isra’ dalam hal kecepatannya. Beliau menegaskan, “Bukankah Allah swt juga telah menyinggung kecepatan angin yang telah membawa Nabi Sulaiman?”. Firman-Nya, “Dan bagi Sulaiman mempunyai angin yang telah membawanya pergi dan kembali selama satu bulan” . Begitu pula dengan Ashif bin Barkhiyya, orang alim yang mengabdi pada Nabi Sulaiman yang sanggup memindah kerajaan Ratu Bilqis dalam sekejap mata. Firman-Nya, “Telah berkata orang yang memiliki pengetahuan dari al-Kitab, Aku akan mendatangkannya sebelum penglihatan anda berkedip” . Selanjutnya beliau menyimpulkan, “Jika hal seperti ini saja bisa terjadi di kalangan khalayak umum, maka tentunya hal serupa bisa terjadi pula di kalangan mereka”. Kendatipun sebenarnya mengenai kecepatan ini juga masih terjadi silang pendapat di kalangan para mufassir. Bahkan, di antara mereka ada yang menentukannya dengan ukuran jam (+ 4-5 jam) . Namun, berapapun waktu yang dihabiskan, sebenarnya its no problem. Sebab, kalau kita cermati dengan seksama, bahwa pelaku utama dalam isra’ itu adalah Allah swt sendiri. Bukankah Allah swt telah berfirman, “Maha suci Allah yang telah mengisra’kan hamba-Nya di malam hari dari al Masjidil Haram ke al Masjidil Aqsha yang telah Kami barakahi sekelilingnya”. (QS. Al-Isra’ : 1). Jika Allah yang menjadi subjec dalam peristiwa Isra’ itu, apanya yang tidak mungkin? Apanya yang irasional? Atau, adakah hal yang imposible jika Allah yang menghendaki? The suitable answer is no.
Satu hal yang perlu dikedepankan bagi kaum Muslimin sejati dalam menanggapi peristiwa isra’ ini; iman. Iman terlebih dahulu baru kemudian akal. Pijakan yang paling tepat, ketika kita dihadapkan masalah peristiwa agung ini adalah tindakan Shahabat Abu Bakar ra. Ketika orang Quraisy berbondong-bondong datang padanya seraya menyampaikan berita isra’nya Nabi, ia langsung membenarkan tanpa ragu sedikitpun, jika memang hal itu disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Sejak saat itulah, Abu Bakar dijuluki “As Siddiq” (orang yang banyak membenarkan). Isra’ adalah suatu yang nyata. Terjadi pada diri Nabi; ruh dan jasadnya. Berbeda dengan Dr. Haikal. Menurutnya, isra’ bersifat spiritual bukanlah fisikal, tetapi dialami dalam kondisi sadar bukan tidur, jadi peristiwa itu sebenarnya bukanlah mimpi dan khayalan belaka seperti diasumsikan kebanyakan orang.”
Peristiwa Isra’ ini memang sudah sewajarnya disandang oleh Nabi Muhammad saw. atas kesabarannya. Bagaimana tidak, kala itu Beliau menghadapi cobaan berat secara bertubi-tubi. Mulai dari wafatnya Abu Thalib, pamannya dan Khadijah al-Kubra istri tercintanya hingga gangguan orang-orang Thaif dan Quraisy terhadap Nabi. Namun, berkat ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, Beliau mampu menghadapi semua problematika itu dengan tenang dan teguh. Kendatipun Beliau agak sedikit goncang dan goyah atas wafatnya orang-orang yang Beliau cintai itu. Dari itu penulis berkesimpulan, bahwa peristiwa isra’ terjadi menjelang Baitul ‘Aqabah pertama atau antara Baitul ‘Aqabah pertama dan Baitul ‘Aqabah kedua (Th. 11-12 dari kenabian) bukan pada tahun kesepuluh. Konklusi ini berdasarkan, bahwa Khadijah al-Kubra wafat pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari kenabian. Sementara itu, ketika wafatnya masih belum diwajibkan shalat lima waktu. Para ulama telah sepakat, bahwa shalat lima waktu baru diwajibkan pada malam isra’. Berarti peristiwa isra’ terjadi pada saat yang akhir sekali; masa-masa akhir kenabian. Bahkan, al-Hafidz Ibnu Hajar –-al-Muhaddist pada zamannya yang sekaligus guru dari Syaikhul Islam, Zakariya al-Anshori–- dalam karyanya, al-Ajab bima Warada fi Fadlli Rajab menegaskan dengan sharih, “Peristiwa isra wal mi’raj yang beritakan terjadi pada bulan rajab sebagaimana yang telah dikemukakan sebagian para pendongeng adalah pembual besar”. Menurutnya, peristiwa isra’ wal mi’rajnya Nabi ‘ala kulli halin tidak terjadi di bulan Rajab sama sekali .
Baiklah, kita tinggalkan pembahasan mengenai Buraq, bulan, tahun dan kecepatan waktu perjalanan isra’. Kini kita beralih pembahasan yang lebih urgen; hikmah yang terselipkan di balik kisah agung ini. Mungkin, Anda masih bertanya-tanya, “Kira-kira massage sih apa yang akan disampaikan oleh Nabi dan Jibril secara eksplisit hingga dapat dipetik oleh umat sesudahnya dalam peristiwa Isra’ itu”. Atau, Anda mempunyai kejanggalan, “Kenapa sih shalat itu hanya berjumlah lima waktu saja? kenapa tidak tetap lima puluh saja?”
Begini, tujuan contoh-contoh tema seperti ini dalam al-Qur’an adalah membuka pada kita pintu berpikir dalam dunia spritiual (pengetahuan alam ruh). Sehingga kita dapat memahami, bagaimana ruh-ruh kita dapat selamat dengan dibersihkan dan bagaimana pula kita bisa menelusuri Horison tertinggi (cakrawala) dan apa yang menjadi esensi daripada ruh itu sendiri.
Tujuan isra’ dalam al-Qur’an bukanlah hanya untuk sekadar dibaca atau mengetahui kondisi Rasul, melainkan Allah SWT menghendaki agar kita mengikuti agama, syariat dan dapat mengajak seluruh umat manusia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi. Allah telah berkata pada Nabi “عسى ان يبعث ربك مقاما محمودا”. (supaya Tuhanmu mengutus ke maqam yang terpuji). Hal ini telah disinggung dalam ayat isra’ secara eksplisit, yaitu “untuk Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kebesaran Kami”. (QS. al-Isra’ : 1).
Perlu anda ketahui, bahwa di kelanjutan ayat isra’ itu, Allah mencan-tumkan nama Nabi Musa dalam firman-Nya “dan Kami berikan al-Kitab kepada Nabi Musa dan kujadikan Kitab (Taurat) itu sebagai petunjuk bagi kaum Bani Isra’il” , dan Nabi Ibrahim pada akhir surat sebelumnya, an-Nahl. Hal ini menunjukkan, bahwa ada kaitan antara hadits mengenai isra’ dengan kedua tokoh Nabi tersebut. Pendekatan dalam hadits isra’ dengan Nabi Ibrahim adalah: as Sunnah, teladan dan agama fitrah, sehingga hal itulah yang dapat menjadikan derajat Nabi Ibrahim berada di langit ketujuh. Sedangkan Nabi Muhammad telah menaiki di atas langit ketujuh itu. Ini berarti bisa diambil sebuah pesan, bahwa “orang yang terbelakang akan mendahului yang terdahulu”. Demikian pula halnya, dalam hadits isra’ tersebut mengisyarahkan perkembangan ilmu pengetahuan manusia dan umat Islam di masa yang akan datang, akan terus berkembang masa demi masa. Hingga mencapai klimaks/puncak tertinggi dan tidak berhenti dalam satu lingkup, melainkan berpikir dan menelaah atau mengkaji. Ini diisyaratkan dalam kisah isra’ ketika Nabi bertemu Nabi Adam, Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa dan Nabi Ibrahim. Hikmah pertemuan ini, sedikitnya ada dua hal, sebagaimana yang telah dipaparkan secara detail oleh Syekh Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya, “al-Jawahir“. Pertama, Kemajuan orang-orang Islam dalam potensinnya (IQ-nya) hingga mereka mencapai pada apa yang sebenarnya (hakikatnya). Kedua, Majunya mereka dalam peradaban dan tatanan sehingga dapat mendahului umatnya Nabi Isa, Musa, Ibrahim dan Idris ‘alaihimusssalam.
Lebih lanjut beliau memaparkan kaitan antara hadits Isra' dengan ayat وآتينا موسى الكتاب وجعلناه هدى لبني إسرائيل (QS. al-Isra': 2). Sebab, dalam ayat itu dijelaskan bahwa Nabi Musa diberikan kitab Taurat dan kitab itu dijadikan petunjuk bagi kaum Bani Isra'il. Kemudian Allah menceritakan kisah-kisah mereka hingga mereka menjadi perumpamaan yang buruk, dan Allah melanjutkannya dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya al-Quran ini untuk jalan yang lebih lapang”. Jadi, dengan demikian al-Quran memiliki kelebihan daripada kitab taurat, dan itu berarti umat Nabi Muhammad lebih baik daripada umat Nabi Musa as. Karenanya, umat Islam hendaknya mempelajari pengetahuan umat-umat terdahulu. Ketika Nabi bertemu dengan Nabi Isa as. hendaknya orang Islam mempelajari pengetahuannya umat Nashara dan ketika Nabi bertemu dengan Nabi Yusuf dan Idris maka hendaknya umat Islam mempelajari pengetahuan-pengetahuan ulama’ Mesir terdahulu, karena keduanya adalah Nabi dari Mesir. Ketika bertemu Nabi Harun dan Yahya maka hendaknya umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan orang-orang Yahudi. Dan ketika bertemu dengan Nabi Ibrahim maka hendaknya umat Islam belajar ilmu pengetahuan agama-agama lain, karena memang Nabi Ibrahimlah yang memumpuninya. Ketika Nabi Muhammad melewati ketujuh langit, maka hendaknya umat Islam mempelajari hakikat-hakikat yang tidak bisa dicerna oleh umat-umat sebelumnya. Ini adalah sebagian hikmah isra yang dapat penulis kemukakan.
Hikmah lain yang tak kalah urgen adalah shalat. Shalat merupakan oleh-oleh dari mi’rajnya Nabi. Pada awalnya Allah telah mewajibkan sebanyak lima puluh kali. Sementara itu, manusia dalam dunia ini merupakan ruh-ruh yang menetap pada materi, sedangkan materi selama-lamanya bersambung dengan tanah, udara, air, panas, dan cahaya, sehingga ruh-ruh itu wajib kembali pada Dzat yang memulainya dan menciptakannya, berfikir dan tadzakkur akan keberadaan Tuhannya. Akan tetapi, kehidupan dunia karena sangat terikat dengan dunia materi, tidak memungkinkan untuk setiap orang kontinu mengingat Tuhannya. Jadi, kita dihadapkan pada dua permasalahan. Pertama; ruh itu wajib mengingat Allah secara terus menerus. Kedua; karena ruh berkaitan dengan materi maka dapat mencegah hal itu secara terus menerus. Jika kita mengacu pada hal yang pertama berarti ada isyarah terhadap kewajiban shalat lima puluh waktu. Sebab, ukuran normal bagi manusia beristirahat dalam sehari semalam adalah 7 sampai 8 jam. Selebihnya yang terpakai untuk bangun adalah 16 atau 17 jam. Shalat (baca; mengingat Allah) dengan kesempurnaannya (beserta mukaddimah dan sunnat-sunnatnya) jika dikalkulasikan dengan waktu maka akan menghabiskan sekitar 20 menit. Itu berarti kalau kita kalikan dengan jumlah hitungan shalat lima puluh waktu maka: 20 menit x 50 = 1000 menit, jika dijadikan jam maka: 1000 menit : 60 = 16 jam 40 menit. Nah, ini berarti waktu yang tersisa untuk terjaga akan dihabiskan seluruhnya untuk shalat saja, tanpa makan, mandi, memasak dan lain sebagainya, sedangkan manusia tidak mungkin dapat melakukannya. Karenanya, Allah SWT mengganti dengan lima kewajiban shalat. Inilah sebagian hikmah mengapa shalat itu diringankan kepada umat Muhammad.
Sedangkan pendekatan dengan Nabi Musa as. Bahwa Musa pernah berkata pada Nabi, "Kembalilah pada Tuhanmu untuk meringankan beban umatmu", Dia berasumsi bahwa umat Muhammad sama seperti Bani Isra'il; mengalami apa yang pernah menimpa kaumnya. Namun, Nabi setelah sampai pada batasan jumlah shalat lima waktu, beliau tidak kembali lagi pada Tuhannya (Rabbnya). Akan tetapi, Musa tetap menuntut kepada beliau untuk mengurangi jumlah shalat dari lima waktu tersebut. Anda tahu, mengapa? Sebab, umat Nabi Musa as. lemah dalam beramal, akan tetapi Nabi tidak mengatakan hal itu pada umatnya, ini berarti umat Nabi Muhammad labih maju dibandingkan dengan umat Nabi Musa as.
Al-Hasil, dalam kisah isra’ wal mi’raj mengajarkan kita untuk segera bangkit dan berjuang untuk menjadi tokoh yang cendekiawan dan bekerja keras sehingga mengetahui hikmah dalam kemajuan ini (peristiwa isra’nya Nabi).
Wednesday, 7 July 2010
Isra' Mi'raj
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
papan tamu